Penyebab dan Solusi Banjir di Jakarta
Posted on Februari 14, 2008 by Admin
Banjir yang melanda
Jakarta umumnya disebabkan oleh banjir kiriman dari Bogor atau hujan
lokal yang sangat deras dengan waktu lama antara 1-3 hari. Ada pun
banjir karena pasang laut boleh dikata agak jarang dan hanya melanda
kawasan tertentu di pesisir (Jakarta Utara seperti Rawa Buaya) jika ada
tanggul yang jebol. Boleh di kata kawasan banjir Cawang, Kampung Melayu,
bahkan jalan tol Cengkareng terlepas dari banjir pasang laut karena
posisinya yang lebih tinggi dari permukaan laut.
Banjir
karena pasang laut hanya bisa dihindari dengan pengadaan tanggul yang
kuat dan menyeluruh tanpa celah sedikit pun bagi air laut masuk ke
darat. Meliputi pesisir pantai dan juga pinggiran sungai yang posisinya
masih di bawah permukaan laut.
Kali Ciliwung di Jatinegara Barat airnya meluap hingga hampir ke lantai rumah penduduk.
Dua minggu
setelah banjir di Jatinegara air Ciliwung masih tinggi sementara di
Matraman dasar sungai terlihat karena pintu air di Manggarai tertutup
Ada pun banjir karena
hujan, jika aliran sungai mengalir lancar dan drainase (kanal buatan)
mengalir dengan baik hingga ke laut bisa dicegah. Tapi ini artinya air
tawar yang berharga sia-sia terbuang ke laut. Akan lebih baik lagi
pemerintah memperdalam sungai, membuat bendungan atau mengambil alih
situ/danau yang ada untuk menampung kelebihan air hujan tersebut.
Kali Ciliwung setelah pintu Air Manggarai di jalan Matraman-Proklamasi dasar sungainya terlihat
Banjir pada tanggal 1
Februari 2008 yang menggenangi jalan Jenderal Thamrin hingga 1 meter
sebenarnya menunjukkan adanya perbaikan kelancaran aliran air dibanding
banjir pada bulan Februari 2007 yang menenggelamkan daerah Cawang dan
Kampung Melayu antara 3-4 meter. Kenapa? Karena Cawang dan Kampung
Melayu posisinya berada di hulu atau lebih tinggi ketimbang jalan
Thamrin.
Banjir di jalan Otista Raya Kampung Melayu sejauh hampir 1 km pada Februari 2007
Pada Februari 2007,
wilayah hulu ini tenggelam sementara jalan Thamrin kering karena pintu
air Manggarai baik yang menuju Banjir Kanal Barat mau pun ke masjid
Istiqlal ditutup. Baru setelah Sutiyoso dan Jubir Presiden ribut masalah
pembukaan pintu Air Manggarai dan pintunya dibuka, maka banjir di
Cawang dan Kampung Melayu surut, sementara Monas dan Istana Negara
tenggelam hingga 1 meter. Dua foto yang saya muat di mana Kali Ciliwung
di Jatinegara yang merupakan hulu airnya begitu dalam sementara Kali
Ciliwung di Matraman yang merupakan hilir justru lebih dangkal hingga
dasarnya kelihatan menunjukkan tidak lancarnya pengaturan air di Pintu
Air Manggarai.
Pada banjir 2008 ini
pintu Air Manggarai yang menuju Banjir Kanal Barat yang melintasi Jalan
Sudirman dibuka, sehingga Jalan Thamrin dan Sudirman tergenang air
hingga 1 meter. Sebaliknya, wilayah Cawang dan Kampung Melayu sama
sekali tidak banjir (kecuali Kampung Pulo yang posisinya sangat rendah).
Meski pintu Air Manggarai yang menjurus ke kali Ciliwung (ke Matraman,
Istiqlal, dan seterusnya) tidak dibuka, namun ini menunjukkan sedikit
perbaikan pada pengaturan pintu air. Padahal kalau dibuka, meski banjir
meluas, namun tingginya tentu akan jauh berkurang karena lebih merata.
Penyebab banjir di
Cengkareng, terutama pada kilometer 24 dan 25 disebabkan karena aliran
air banjir tertahan di tanggul Perumahan Pantai Indah Kapuk. Sementara
waduk yang ada tidak cukup luas dan tertutup sehingga tidak mampu
menampung air banjir. Padahal jika bisa disalurkan ke drainase
Cengkareng, air banjir bisa dialirkan ke laut.
Jika kita amati
topografi Jakarta yang secara sederhana digambarkan di sini, umumnya
banjir terjadi karena adanya tanggul/bendungan yang menahan aliran air
sehingga tidak mengalir ke laut dan menggenang jadi banjir. Di antaranya
Pintu Air Manggarai yang menahan air Kali Ciliwung sehingga air
menggenangi wilayah Kalibata, Cawang, dan Kampung Melayu. Di utara ada
Tanggul Pantai Indah Kapuk yang menahan air banjir dari jalan Tol
Cengkareng di kilometer 24 dan 25.
Menggusur perumahan
Pantai Indah Kapuk tentu sangat sulit. Namun pemerintah bisa memperbaiki
sistem drainase dengan memperdalam waduk yang ada dan mengalirkannya ke
kanal yang ada di sekitarnya.
Saat ini pemerintah
memperdalam sungai yang ada hanya menggunakan kendaraan darat Excavator.
Padahal kendaraan ini selain tidak praktis karena tidak semua pinggiran
sungai dapat dilalui juga daya angkutnya kecil.
Sudah saatnya
pemerintah membeli kapal keruk ringan untuk memperdalam sungai-sungai
yang ada di Jakarta dengan kedalaman minimal 7 meter. Jika sungai cukup
dalam dan lebar, maka volume sungai akan berlipat hingga 3 kali lipat
sehingga luas/tinggi genang banjir bisa dikurangi.
Foto yang diambil di
Matraman disamping Radio SBY menunjukkan Kali Ciliwung yang begitu
dangkal airnya sehingga dasar sungai terlihat hingga separuhnya.
Dalamnya kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sehingga tidak mampu
menampung luapan banjir. Pemerintah harus mengeruk dasar kali Ciliwung
dari muara hingga ke hulu secara bertahap dengan memakai kapal keruk.
Jika satu Kapal Keruk
harganya sekitar Rp 5 milyar dan untuk mengeruk sungai-sungai di Jakarta
butuh 5 kapal keruk, maka hanya dibutuhkan biaya sekitar Rp 25 milyar
untuk pengadaan Kapal Keruk dan total Rp 50-100 milyar untuk seluruh
biaya operasionalnya.
Lebih baik
menormalisasi sungai-sungai dan kanal yang ada dengan memelihara agar
lebar dan kedalamannya tetap terjaga ketimbang menghamburkan trilyunan
rupiah untuk pembangunan Banjir Kanal Timur yang tidak diikuti dengan
pemeliharaan sehingga akhirnya menjadi dangkal dan tidak berguna.
Ini jauh lebih murah
ketimbang membuat Banjir Kanal Timur yang selain biayanya trilyunan
rupiah juga mubazir jika pengaturan pintu airnya seperti sekarang atau
kanalnya dangkal lagi jika tidak pernah dikeruk.
Banjir terjadi karena
hampir tidak ada lagi resapan air di Jakarta. Tanah, kolam, taman banyak
yang menghilang. Diganti oleh hutan beton, aspal, dan semen. Air hujan
pun tidak bisa meresap ke dalam tanah sehingga menjadi banjir/genangan.
Harus dibuat daerah
resapan air. Bukan hanya membuat sumur resapan atau mengganti halaman
semen dengan paving block, tapi juga mempertimbangkan penggunaan rumah
panggung di wilayah ibu kota. Ketika kecil di Kalimantan Selatan, saya
biasa tinggal di rumah panggung. Di bawah rumah ada lumpur. Jika kita
lempar pancing ke bawah rumah, kita bisa mendapat ikan. Rumah panggung
seperti ini bisa memperluas daerah resapan air. Saya lihat di wilayah
Jakarta Selatan ada juga rumah besar yang memakai sistem rumah panggung
di mana ikan-ikan bisa hidup di bawahnya.
Pertimbangkan juga jalan berpori seperti aspal berpori atau paving
block yang separuhnya terbuka sehingga bisa diisi rumput agar air hujan
bisa menyerap.Ada yang mengusulkan agar Pemda DKI mengambil-alih situ/danau yang tersisa seperti yang ada di daerah Cibubur dan sekitarnya sehingga bisa diperdalam dan diperluas. Danau ini bisa jadi tempat peternakan ikan, pemancingan, wisata perahu dayung dan memancing, serta restoran ikan dengan sistem rumah panggung.
Di TVOne Jokowi
mengeluh bahwa sedimen di gorong-gorong Jakarta mencapai 80%. Kalau
gotnya sedalam 1 meter, sedimen/endapan mencapai 80 cm. Cuma tersisa 20
cm untuk air. Kalau gorong-gorong dalamnya 2 meter, sedimennya 1,6
meter. Cuma 40 cm tersisa untuk air. Bagaimana tidak banjir? Kata
Jokowi.
Kalau di kali atau
perumahan mungkin benar rakyat yang buang sampah. Tapi kalau di jalan
protokol seperti jalan Thamrin, Sudirman, Kuningan, dsb, meski rakyat
buang sampah di pinggir jalan, tapi bukan mereka yang membuat sedimen di
gorong-gorong. Justru petugas kebersihan yang menyapu sampah dan
daun-daun pohon yang jatuh serta debu yang membuangnya ke lubang tempat
masuk air ke gorong-gorong. Ini pernah ditangkap oleh jurnalis TV. Jika
sehari seorang petugas sampah menambah tebal sedimen 0,5 cm saja, dalam
setahun sudah 1,5 meter lebih. Makanya saat hujan sedikit, jalan pun
segera tergenang karena gorong-gorong tak mampu menampung air.
Untuk mencegah hal itu
ada baiknya para petugas pembersih sampah dilarang membuang sampah ke
gorong-gorong. Cukup dikumpulkan di pinggir jalan untuk diangkut/disedot
oleh truk Vacuum Cleaner. Bahkan jika perlu jalan-jalan disedot oleh
truk Vacuum Cleaner seperti di bawah yang harganya sekitar US$
20.000-40.000/unit:
Ada bagusnya jika di
beberapa tempat seperti Depok atau daerah langganan banjir yang terparah
seperti Kampung Pulo dibuat bendungan yang besar untuk menampung air
sekaligus pembangkit tenaga listrik sehingga bukan hanya mencegah
banjir, tapi juga memberi energi listrik bertenaga air. Tentu pemerintah
harus menyediakan rumah susun (misalnya Rusun Cawang) dan GANTI UNTUNG
yang layak bagi penduduk yang digusur.
Referensi:..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar