Senin, 23 Februari 2015


Penyebab dan Solusi Banjir di Jakarta

Ilustrasi Banjir dan Permukaan Tanah di Jakarta
Banjir yang melanda Jakarta umumnya disebabkan oleh banjir kiriman dari Bogor atau hujan lokal yang sangat deras dengan waktu lama antara 1-3 hari. Ada pun banjir karena pasang laut boleh dikata agak jarang dan hanya melanda kawasan tertentu di pesisir (Jakarta Utara seperti Rawa Buaya) jika ada tanggul yang jebol. Boleh di kata kawasan banjir Cawang, Kampung Melayu, bahkan jalan tol Cengkareng terlepas dari banjir pasang laut karena posisinya yang lebih tinggi dari permukaan laut.
Banjir karena pasang laut hanya bisa dihindari dengan pengadaan tanggul yang kuat dan menyeluruh tanpa celah sedikit pun bagi air laut masuk ke darat. Meliputi pesisir pantai dan juga pinggiran sungai yang posisinya masih di bawah permukaan laut.
Kali Ciliwung di Jatinegara Barat airnya begitu dalam dekat dengan permukaan tanah
Kali Ciliwung di Jatinegara Barat airnya meluap hingga hampir ke lantai rumah penduduk.
Tanggal 15 Februari di Jatinegara air Ciliwung tetap tinggi
Dua minggu setelah banjir di Jatinegara air Ciliwung masih tinggi sementara di Matraman dasar sungai terlihat karena pintu air di Manggarai tertutup
Ada pun banjir karena hujan, jika aliran sungai mengalir lancar dan drainase (kanal buatan) mengalir dengan baik hingga ke laut bisa dicegah. Tapi ini artinya air tawar yang berharga sia-sia terbuang ke laut. Akan lebih baik lagi pemerintah memperdalam sungai, membuat bendungan atau mengambil alih situ/danau yang ada untuk menampung kelebihan air hujan tersebut.
Kali Ciliwung setelah pintu Air Manggarai di jalan Matraman-Proklamasi dasar sungainya terlihat
Kali Ciliwung setelah pintu Air Manggarai di jalan Matraman-Proklamasi dasar sungainya terlihat
Banjir pada tanggal 1 Februari 2008 yang menggenangi jalan Jenderal Thamrin hingga 1 meter sebenarnya menunjukkan adanya perbaikan kelancaran aliran air dibanding banjir pada bulan Februari 2007 yang menenggelamkan daerah Cawang dan Kampung Melayu antara 3-4 meter. Kenapa? Karena Cawang dan Kampung Melayu posisinya berada di hulu atau lebih tinggi ketimbang jalan Thamrin.
Banjir di Jalan Otista Raya Jakarta Timur tahun 2007
Banjir di jalan Otista Raya Kampung Melayu sejauh hampir 1 km pada Februari 2007
Pada Februari 2007, wilayah hulu ini tenggelam sementara jalan Thamrin kering karena pintu air Manggarai baik yang menuju Banjir Kanal Barat mau pun ke masjid Istiqlal ditutup. Baru setelah Sutiyoso dan Jubir Presiden ribut masalah pembukaan pintu Air Manggarai dan pintunya dibuka, maka banjir di Cawang dan Kampung Melayu surut, sementara Monas dan Istana Negara tenggelam hingga 1 meter. Dua foto yang saya muat di mana Kali Ciliwung di Jatinegara yang merupakan hulu airnya begitu dalam sementara Kali Ciliwung di Matraman yang merupakan hilir justru lebih dangkal hingga dasarnya kelihatan menunjukkan tidak lancarnya pengaturan air di Pintu Air Manggarai.
Pada banjir 2008 ini pintu Air Manggarai yang menuju Banjir Kanal Barat yang melintasi Jalan Sudirman dibuka, sehingga Jalan Thamrin dan Sudirman tergenang air hingga 1 meter. Sebaliknya, wilayah Cawang dan Kampung Melayu sama sekali tidak banjir (kecuali Kampung Pulo yang posisinya sangat rendah). Meski pintu Air Manggarai yang menjurus ke kali Ciliwung (ke Matraman, Istiqlal, dan seterusnya) tidak dibuka, namun ini menunjukkan sedikit perbaikan pada pengaturan pintu air. Padahal kalau dibuka, meski banjir meluas, namun tingginya tentu akan jauh berkurang karena lebih merata.
Penyebab banjir di Cengkareng, terutama pada kilometer 24 dan 25 disebabkan karena aliran air banjir tertahan di tanggul Perumahan Pantai Indah Kapuk. Sementara waduk yang ada tidak cukup luas dan tertutup sehingga tidak mampu menampung air banjir. Padahal jika bisa disalurkan ke drainase Cengkareng, air banjir bisa dialirkan ke laut.
Jika kita amati topografi Jakarta yang secara sederhana digambarkan di sini, umumnya banjir terjadi karena adanya tanggul/bendungan yang menahan aliran air sehingga tidak mengalir ke laut dan menggenang jadi banjir. Di antaranya Pintu Air Manggarai yang menahan air Kali Ciliwung sehingga air menggenangi wilayah Kalibata, Cawang, dan Kampung Melayu. Di utara ada Tanggul Pantai Indah Kapuk yang menahan air banjir dari jalan Tol Cengkareng di kilometer 24 dan 25.
Perumahan Pantai Indah Kapuk di Hilir Jalan Tol Bandara Cengkareng Km 23 hingga Km 25
Menggusur perumahan Pantai Indah Kapuk tentu sangat sulit. Namun pemerintah bisa memperbaiki sistem drainase dengan memperdalam waduk yang ada dan mengalirkannya ke kanal yang ada di sekitarnya.
Saat ini pemerintah memperdalam sungai yang ada hanya menggunakan kendaraan darat Excavator. Padahal kendaraan ini selain tidak praktis karena tidak semua pinggiran sungai dapat dilalui juga daya angkutnya kecil.
Sudah saatnya pemerintah membeli kapal keruk ringan untuk memperdalam sungai-sungai yang ada di Jakarta dengan kedalaman minimal 7 meter. Jika sungai cukup dalam dan lebar, maka volume sungai akan berlipat hingga 3 kali lipat sehingga luas/tinggi genang banjir bisa dikurangi.
Foto yang diambil di Matraman disamping Radio SBY menunjukkan Kali Ciliwung yang begitu dangkal airnya sehingga dasar sungai terlihat hingga separuhnya. Dalamnya kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sehingga tidak mampu menampung luapan banjir. Pemerintah harus mengeruk dasar kali Ciliwung dari muara hingga ke hulu secara bertahap dengan memakai kapal keruk.
Jika satu Kapal Keruk harganya sekitar Rp 5 milyar dan untuk mengeruk sungai-sungai di Jakarta butuh 5 kapal keruk, maka hanya dibutuhkan biaya sekitar Rp 25 milyar untuk pengadaan Kapal Keruk dan total Rp 50-100 milyar untuk seluruh biaya operasionalnya.
Lebih baik menormalisasi sungai-sungai dan kanal yang ada dengan memelihara agar lebar dan kedalamannya tetap terjaga ketimbang menghamburkan trilyunan rupiah untuk pembangunan Banjir Kanal Timur yang tidak diikuti dengan pemeliharaan sehingga akhirnya menjadi dangkal dan tidak berguna.
Ini jauh lebih murah ketimbang membuat Banjir Kanal Timur yang selain biayanya trilyunan rupiah juga mubazir jika pengaturan pintu airnya seperti sekarang atau kanalnya dangkal lagi jika tidak pernah dikeruk.
Banjir terjadi karena hampir tidak ada lagi resapan air di Jakarta. Tanah, kolam, taman banyak yang menghilang. Diganti oleh hutan beton, aspal, dan semen. Air hujan pun tidak bisa meresap ke dalam tanah sehingga menjadi banjir/genangan.
Harus dibuat daerah resapan air. Bukan hanya membuat sumur resapan atau mengganti halaman semen dengan paving block, tapi juga mempertimbangkan penggunaan rumah panggung di wilayah ibu kota. Ketika kecil di Kalimantan Selatan, saya biasa tinggal di rumah panggung. Di bawah rumah ada lumpur. Jika kita lempar pancing ke bawah rumah, kita bisa mendapat ikan. Rumah panggung seperti ini bisa memperluas daerah resapan air. Saya lihat di wilayah Jakarta Selatan ada juga rumah besar yang memakai sistem rumah panggung di mana ikan-ikan bisa hidup di bawahnya.
Pertimbangkan juga jalan berpori seperti aspal berpori atau paving block yang separuhnya terbuka sehingga bisa diisi rumput agar air hujan bisa menyerap.
Ada yang mengusulkan agar Pemda DKI mengambil-alih situ/danau yang tersisa seperti yang ada di daerah Cibubur dan sekitarnya sehingga bisa diperdalam dan diperluas. Danau ini bisa jadi tempat peternakan ikan, pemancingan, wisata perahu dayung dan memancing, serta restoran ikan dengan sistem rumah panggung.
Di TVOne Jokowi mengeluh bahwa sedimen di gorong-gorong Jakarta mencapai 80%. Kalau gotnya sedalam 1 meter, sedimen/endapan mencapai 80 cm. Cuma tersisa 20 cm untuk air. Kalau gorong-gorong dalamnya 2 meter, sedimennya 1,6 meter. Cuma 40 cm tersisa untuk air. Bagaimana tidak banjir? Kata Jokowi.
Kalau di kali atau perumahan mungkin benar rakyat yang buang sampah. Tapi kalau di jalan protokol seperti jalan Thamrin, Sudirman, Kuningan, dsb, meski rakyat buang sampah di pinggir jalan, tapi bukan mereka yang membuat sedimen di gorong-gorong. Justru petugas kebersihan yang menyapu sampah dan daun-daun pohon yang jatuh serta debu yang membuangnya ke lubang tempat masuk air ke gorong-gorong. Ini pernah ditangkap oleh jurnalis TV. Jika sehari seorang petugas sampah menambah tebal sedimen 0,5 cm saja, dalam setahun sudah 1,5 meter lebih. Makanya saat hujan sedikit, jalan pun segera tergenang karena gorong-gorong tak mampu menampung air.
Untuk mencegah hal itu ada baiknya para petugas pembersih sampah dilarang membuang sampah ke gorong-gorong. Cukup dikumpulkan di pinggir jalan untuk diangkut/disedot oleh truk Vacuum Cleaner. Bahkan jika perlu jalan-jalan disedot oleh truk Vacuum Cleaner seperti di bawah yang harganya sekitar US$ 20.000-40.000/unit:
Truk Vacuum Cleaner
Truk Vacuum Cleaner
Ada bagusnya jika di beberapa tempat seperti Depok atau daerah langganan banjir yang terparah seperti Kampung Pulo dibuat bendungan yang besar untuk menampung air sekaligus pembangkit tenaga listrik sehingga bukan hanya mencegah banjir, tapi juga memberi energi listrik bertenaga air. Tentu pemerintah harus menyediakan rumah susun (misalnya Rusun Cawang) dan GANTI UNTUNG yang layak bagi penduduk yang digusur.
Referensi:..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar